Arsip Blog

060226 Shalat Safar (1)

Ahad, 26 Pebruari 2006/27 Muharram 1427                   Brosur No. : 1311/1351/IF



Pengertian safar.
As-Safar, yaitu bepergian dari satu tempat iqamah (tempat menetap/ tempat tinggal baik kota atau desa) ke suatu tempat di luar daerah iqamahnya, baik dengan tujuan yang bersifat ukhrawiy (berhajji, tabligh dsb) maupun yang bersifat duniawiy (berdagang, duta suatu negara dll).
Orang yang mengerjakan safar disebut Musafir, kebalikan dari musafir adalah Muqim, yaitu orang yang berada di tempat iqamahnya, artinya : menetap dan bertempat tinggal di suatu tempat diantara anak-istri atau sanak keluarganya.
Maka seseorang baru boleh dikatakan sebagai musafir bila dia pergi dengan memenuhi ketentuan-ketentuan yang disebut safar di atas. Sedang jika ia hanya sekedar kaluar atau pergi dari rumah/kampung dan tidak memenuhi ketentuan di atas dalam bahasa Arab orang tersebut bukan dikatakan musafir, dan masih termasuk orang muqim.
Setiap manusia selalu berada dalam salah satu keadaan di atas, yaitu sebagai muqim atau musafir. Firman Allah SWT :
وَ اللهُ جَعَلَ لَكُمْ مّنْ بُيُوْتِكُمْ سَكَنًا وَّ جَعَلَ لَكُمْ مّنْ جُلُوْدِ اْلاَنْعَامِ بُيُوْتًا تَسْتَخِفُوْنَهَا يَوْمَ ظَعْنِكُمْ وَ يَوْمَ اِقَامَتِكُمْ. النحل: 80
Dan Allah menjadikan bagimu rumah-rumahmu sebagai tempat tinggal dan Dia menjadikan bagi kamu rumah-rumah (kemah-kemah) dari kulit binatang ternak yang kamu merasa ringan (memawanya) di waktu kamu bepergian (safar) dan waktu kamu muqim. [QS. An-Nahl : 80]
Keadaan seorang disebut musafir.
… وَ اِنْ كُنْتُمْ مَّرْضى اَوْ عَلى سَفَرٍ اَوْ جَآءَ اَحَدٌ مّنْكُمْ مّنَ اْلغَآئِطِ اَوْ لَمَسْتُمُ النّسَآءَ فَلَمْ تَجِدُ مَآءً فَتَيَمَّمُوْا … النساء: 6
. dan jika kamu sakit atau sedang dalam bepergian (safar) atau datang dari tempat buang air atau kamu telah menyentuh perempuan, kemudian kamu tidak mendapatkan air, maka bertayammumlah .. [QS. An-Nisaa : 6]
فَمَنْ كَانَ مِنْكُمْ مَّرِيْضًا اَوْ عَلى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مّنْ اَيَّامٍ اُخَرُ. البقرة: 184
Maka jika diantara kamu ada yang sakit atau dalam bepergian (safar) (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari-hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain. [QS. Al-Baqarah : 184]
… وَ اِذَا ضَرَبْتُمْ فِى اْلاَرْضِ فَلَيْسَ عَلَيْكُمْ جُنَاحٌ اَنْ تَقْصُرُوْا مِنَ الصَّلوةِ … النساء: 101
dan apabila kamu bepergian di muka bumi, maka tidaklah mengapa kamu mengqashar shalat …… [QS. An-Nisaa : 101]
Dan sabda Nabi Muhammad SAW :
عَنْ اَبِى مُوْسَى اْلاَشْعَرِيّ رض اَنَّهُ ص قَالَ: اِذَا مَرِضَ اْلعَبْدُ اَوْ سَافَرَ كُتِبَ لَهُ مِنَ اْلعَمَلِ مَا كَانَ يَعْمَلُ وَ هُوَ صَحِيْحٌ مُقِيْمٌ. احمد و البخارى و ابو داود
Dari Abu Musa Al-Asyariy RA, bahwa Nabi SAW bersabda, Jika seorang hamba sakit atau bepergian, dicatat amalnya seperti amalan ketika dia sehat dan tidak bepergian. [HR. Ahmad, Bukhari dan Abu Dawud].
Keterangan :
Dari ayat-ayat dan hadtis di atas (disamping banyak lagi hadits-hadits tentang safar) jelas terlihat keumuman kalimat safar tersebut.
Menurut qaidah ushul, setiap yang umum tetapi pada keumumannya selama tidak ada takhsish (yang mengecualikan/mengkhususkan).
Maka bila seseorang memenuhi ketentuan sebagai musafir, tetaplah dia berhak menerima keringanan-keringanan yang diberikan oleh agama bagi musafir, baik dia safar lama maupun sebentar, dengan susah payah maupun mudah dan enak, di darat ataupun di laut, bahkan di udara sekalipun, maka tetap dikatakan sedang safar dan orangnya disebut musafir.
Tentang batas jarak bagi musafir.
Dalam menentukan batas berapa jauh seseorang pergi dari daerah iqamahnya sehingga dapat disebut sebagai musafir, terjadi perselisihan pendapat diantara ulama fuqahaa (ahli fiqih) maupun ulama ahli hadits dalam memahami hadits-hadits dan riwayat-riwayat tentang hal ini.
Pendapat pertama :
حَدِيْثُ اَنَسٍ اَنَّهُ قَالَ حِيْنَ سُئِلَ عَنْ قَصْرِ الصَّلاَةِ بَيْنَ اْلبَصْرَةِ وَ اْلكُوْفَةِ كَانَ رَسُوْلُ اللهِ ص اِذَا خَرَجَ مَسِيْرَةً ثَلاَثَةَ اَمْيَالٍ اَوْ ثَلاَثَةَ فَرَاسِخَ صَلَّى رَكْعَتَيْنِ. احمد و مسلم و ابو داود من طريق شعبة
Hadits Anas, bahwa dia telah menjawab ketika ditanya tentang mengqashar shalat antara Bashrah dan Kuufah, dia berkata, Dahulu Rasulullah SAW jika bepergian sejauh tiga mil atau tiga farsakh beliah shalat dua rekaat. [HR. Ahmad, Muslim dan Abu Dawud dari jalan Syubah]
عَنْ حَدِيْثِ اَبِى سَعِيْدٍ قَالَ: كَانَ رَسُوْلُ اللهِ ص اِذَا سَافَرَ فَرْسَخًا يَقْصُرُ الصَّلاَةَ.
Dari hadits Abu Said, ia berkata, Adalah Rasulullah SAW jika bepergian satu farsakh beliau mengqashar shalat.
Catatan :
Sementara ulama ada yang berpegang kepada dua hadits di atas, dengan jalan bahwa hadits ke-2 merupakan penjelas dari keragu-raguan hadits pertama. Oleh karena itu mereka berpendapat bahwa batas minimal bagi musafir adalah 1 (satu) farsakh = 3 mil atau kurang lebih 6 km.
Pendapat kedua :
رُوِيَ عَنِ ابْنِ عُمَرَ رض اَنَّهُ قَالَ: لَوْ سَافَرْتُ مِيْلاً لَقَصَرْتُ. ابن ابى شيبة باساند صحيح
Diriwayatkan dari Ibnu Umar RA bahwa ia berkata, Jika aku bepergian meskipun sejauh satu mil, tentu aku akan mengqashar shalat. [HR. Ibnu Abi Syaibah, sanad-sanadnya shahih]
Ulama lain (terutama Ibnu Hazm di Kitab Al-Muhalla juz 5, hal. 513) berpegang pada pendapat ini, yakni batas musafir itu ialah 1 mil atau kurang lebih 2 km.
Pendapat ketiga :
Adapun sebagian ulama yang mengembalikan batasnya kepada uruf (pengertian umum) tentang safar dengan alasan :
1.  Riwayat-riwayat di atas adalah sesuatu yang insidentil (terjadi sesekali) tanpa penetapan dari Nabi SAW : dan riwayat-riwayat di atas saling berbeda satu sama lain, hingga tidak dapat dipegang salah satunya, sedang dhahir Al-Quran memperbolehkan qashar bagi mereka yang safar dengan pengertian umum tentang safar.
2.  Suatu ketetapan agama harus berdasar nash yang tegas dari Allah dan Rasul-Nya, tidak boleh dengan akal fikiran semata tanpa landasan tempat berpijak. [Al-Mughni juz 2, hal 257-258, cet. Ke-2]
Tegasnya : Semenjak dia keluar dari daerah iqamahnya, safarlah dia tanpa terikat oleh batasan apapun.
Pendapat keempat :
Batas minimal adalah kurang lebih 6 mil (demikian pendapat ulama yang lan) dengan dasar tindakan yang dilakukan oleh Nabi SAW, beliau mengqashar shalat ketika berada di Dzul Hulaifah, suatu tempat kurang lebih 6 mil (Arab) di luar kota Madinah, sebagaimana riwayat berikut ini :
قَالَ اَنَسٌ: صَلَّيْتُ مَعَ رَسُوْلِ اللهِ ص الظُّهْرَ بِاْلمَدِيْنَةِ اَرْبَعًا وَ صَلَّيْتُ مَعَهُ اْلعَصْرَ بِذِى اْلحُلَيْفَةِ رَكْعَتَيْنِ. مسلم
Anas berkata, Saya pernah shalat Dhuhur bersama Rasulullah SAW di Madinah empat rekaat, dan saya shalat Ashar bersama beliau di Dzul Hulaifah dua rekaat. [HR. Muslim ]
Dan beberapa pendapat lagi dari ulama fuqahaa (ulama madzhab) dengan dasar yang lebih lemah dari dasar-dasar di atas yang dapat dipelajari dalam kitab-kitab fiqh yang mutabar.
Tentang batas waktu dalam safar.
Dalam menetapkan batas waktu bagi seorang musafir, ulama juga berselisih pendapat sebagaimana perselisihan dalam menentukan jarak musafir. Memang dalam masalah safar ini terjadi sedemikain banyak khilaf/perselisihan, sehingga tercatat kurang lebih 20 pendapat yang terkenal dalam seluruh masalah safar ini. Namun di sini hanya akan kami sampaikan beberapa pendapat saja.
Pendapat pertama :
عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ: اَقَامَ النَّبِيُّ ص تِسْعَةَ عَشَرَ يَوْمًا يَقْصُرُ. و فى لفظ بِمَكَّةَ تِسْعَةَ عَشَرَ يَوْمًا. البخارى و فى رواية لابى داود سَبْعَ عَشْرَةَ. و فى اخرى خَمْسَ عَشْرَةَ
Dari Ibnu Abbas, ia berkata, Nabi SAW singgah sembilan belas hari (dengan) mengqashar. Dan pada satu lafadh, Di Makkah semblian belas hari. [HR. Bukhari, Dan pada satu riwayat bagi Abu Dawud Tujuh belas hari, dan di lain riwayat Lima belas hari].
وَ لَهُ عَنْ عِمْرَانَ بْنِ حُصَيْنٍ .. ثَمَانِيَ عَشْرَةَ
Dan baginya, dari Imran bin Hushain, delapan belas hari.
اِنَّ ابْنَ عُمَرَ اَقَامَ بِاَذَرْبِيْجَانَ سِتَّةَ اَشْهُرٍ يَقْصُرُ الصَّلاَةَ. البيهقى
Sesungguhnya Ibnu Umar pernah tinggal di Adzarbijan sebagai musafir enam bulan mengqashar shalat. [HR. Baihaqi]
Dengan melihat hadits-hadits dan riwayat-riwayat di atas, maka kebanyakan ulama mengambil keumuman kalimat safar, karena jelas dari hadits-hadits tersebut Nabi SAW tidak memberikan batas waktu yang tegas bagi seorang musafir, sedang mengambil salah satu sebagai dasar dan mengabaikan yang lain adalah bertentangan dengan qaidah-qaidah yang ada, dan tidak dapat dibenarkan. Jadi tegasnya, (menurut mereka), selama orang itu berstatus sebagai musafir, selama itu pula dia berhak mengqashar shalat, ini merupakan rukhshah/keringanan bagi seorang musafir, tenpa terikat oleh batas waktu.
Pendapat kedua :
Golongan ulama yang lain (terutama madzha Syafiiy) berpendapat bahwa batas bagi seorang musafir adalah tiga hari tiga malam, bila lewat tiga hari, maka walaupun dia sedang bepergian, tetap sebagai orang muqim. Dengan demikian gugurlah keringanan-keringanan yang diberikan untuk seorang musafir baginya.
Dengan dasar hadits masalah mengusap sarung kaki sebagai berikut :
عَنْ عَلِيّ بْنِ اَبِى طَالِبٍ قَالَ: جَعَلَ النَّبِيُّ ص ثَلاَثَةَ اَيَّامٍ وَ لَيَالِيْهِنَّ لِلْمُسَافِرِ وَ يَوْمًا وَ لَيْلَةٍ لِلْمُقِيْمِ. يَعْنِى فِى اْلمَسْحِ عَلَى اْلخُفَيْنِ. مسلم
Dari Ali bin Abu Thalib, ia berkata, Nabi SAW menetapkan tiga hari tiga malam bagi musafir dan sehari semalam bagi muqim, yakni tentang mengusap atas dua sarung kaki. [HR. Muslim]
Dan beberapa hadits lain yang senada.
Bantahan :
=    Penetapan ini adalah bertentangan dengan sunnah dan tindakan Nabi SAW serta para shahabat yang shalih (sebagaimana di atas).
=    Hadits-hadits tersebut sama sekali tidak menyinggung masalah batas waktu seorang musafir, hanya memberikan pengertian batas kebolehan seorang musafir mengusap sarung kakinya, ialah tiga hari.
Catatan :
Dan banyak pula pendapat-pendapat yang lain dalam menetapkan batas waktu seorang musafir, tetapi tidak ada satupun yang dapat mengemukakan satu dasar yang sharih (tegas) dan shahih (benar) dari agama.
Pendapat kami :
Setelah meneliti dan mengkaji pendapat-pendapat tersebut dan kitab-kitab hadits, fiqh maupun tafsir-tafsirnya yang membahas masalah safar ini, maka kami sependapat dengan pendapat yang mengembalikan masalah ini (batas jarak, batas waktu maupun keadaan bagi musafir) kepada uruf (pengertian umum) tentang apa yang disebut safar dengan tambahan keterangan sebagai berikut :
1.   Mengingat dan melihat kenyataan bahwa bagaimanapun lengkap serta mudahnya alat-alat transportasi/perjalanan maupun fasilitas-fasilitas lain bagi seorang musafir, maka kesempitan-kesempitan dan kepayahan-kepayahan, baik jasmani dan/ataupun ruhani akan tetap dialaminya dari pada ketika dia muqim.
2.   Sifat agama Islam ini dengan segala macam peraturannya, baik ubudiyah (hubungan manusia dengan Tuhan) maupun muamalah (hubungan manusia dengan sesama makhluq) adalah mudah  luas dan tidak sempit, sebagaimana ditandaskan sendiri oleh Allah Sang Pencipta Makhluq dan aturan agama ini dalam firman-Nya :
يُرِيْدُ اللهُ بِكُمُ اْليُسْرَ وَ لاَ يُرِيْدُ بِكُمُ اْلعُسْرَ. البقرة: 185
Allah menghendaki kelonggaran bagimu dan tidak menghendaki kesempitan bagimu. [QS. Al-Baqarah : 185]
وَ مَا جَعَلَ عَلَيْكُمْ فِى الدّيْنِ مِنْ حَرَجٍ. الحج: 78
Dan Allah tidak menjadikan untuk kami dalam agama suatu kesempitan. [QS. Al-Hajj : 78]
Dengan isyarat Allah tentang sifat Nabi-Nya yang diutus bagi segenap manusia sejak zaman dahulu hingga sekarang dan sampai qiyamat kelak, yaitu :
… وَ يَضَعُ عَنْهُمْ اِصْريهُمْ وَ اْلاَغْللَ الَّتِيْ كَانَتْ عَلَيْهِمْ. الاعراف: 157
. dan (Nabi itu) membuang dari mereka beban-beban dan belenggu-belenggu yang ada pada mereka. [QS. Al-Araaf : 157]
Demikian pula sabda Nabi Muhammad SAW pembawa risalah dan contoh yang paling baik, yang tidak ada panutan yang lebih baik daripada beliau bagi kita ummatnya, dalam hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Nasaiy sebagai berikut :
اِنَّ هذَا الدّيْنَ يُسْرٌ وَ لَنْ يُشَادَّ الدّيْنَ اَحَدٌ اِلاَّ غَلَبَهُ. البخارى و النسائى
Sesungguhnya agama ini adala agama yang mudah, dan tidak ada seorang yang memberatkan agama ini melainkan tentu akan kalah. [HR. Bukhari dan Nasaiy]
Juga menurut qaidah ushul :
اَلضَّرُوْاَتُ تَبِيْحُ اْلمَحْظُوْرَاتِ.
Jika keadaan terpaksa, maka halallah yang dilarang.
اِذَا ضَاقَ اْلاَمْرُ اتَّسَعَ.
Jika sesuatu perkara itu sempit, maka menjadi longgarlah dia.
اَلمُشَقَّةُ تَجْلِبُ التَّيْسِيْرَ.
Tiap kesukaran, membawa kelonggaran.
Maka dengan dasar-dasar pertimbangan tersebut dan tidak adanya kepastian yang tegas dari agama tentang batas-batas apapun bagi seorang musafir, tidaklah dapat kita membuat batas itu dengan meraba-raba dan mengkira-kira berdasar akal fikiran atau dasar yang remang-remang.
Tegasnya, apa yang dikenal oleh pengertian umum tentang safar tetaplah safar namanya, tanpa kecuali, selama dia masih memenuhi ketentuan batasan mengenai safar, dia tetap disebut musafir.
Adapun hadits tentang 3 farsakh, 3 mil dan 1 mil serta qaul Ibnu Umar 1 mil dapat dipakai sebagai suatu ancer-ancer yang tidak merupakan suatu penetapan, artinya : kurang dari pada semua itu tetap disebut musafir.
Shalat Jamadan Qashar.
Yang dimaksud engan jama, yaitu : mengumpulkan. Sedang pengertian qashar itu ialah : meringkas. Jadi shalat Jama adalah dua shalat yang bersekutu waktunya (sama-sama siang atau malam) dari shalat fardlu, yang dikerjakan dalam satu waktu.
Contoh : Shalat Dhuhur dan Ashar yang dikerjakan pada waktu Dhuhur atau waktu Ashar Shalat. Shalat Maghrib dan Isyak yang dikerjakan pada waktu Maghrib atau waktu Isyak.
Dan ini terbagi menjadi 2 (dua).
1.  Jama taqdim, yaitu menjama shalat yang dikerjakan pada waktu shalat yang awwal. Contoh : Shalat Dhuhur dan shalat Ashar dikerjakan pada waktu shalat Dhuhur, atau shalat Maghrib dan shalat Isyak dikerjakan pada waktu shalat Maghrib.
2.  Jama takhir, yaitu menjama shalat yang dikerjakan pada waktu shalat yang akhir. Contoh : Shalat Dhuhur dan shalat Ashar dikerjakan pada waktu shalat ashar, atau shalat Maghrib dan shalat Isyak dikerjakan pada waktu shalat Isyak.
Adapun shalat qashar, yaitu shalat-shalat fardlu yang semula empat rekaat diringkas menjadi 2 rekaat. Yaitu shalat Dhuhur dikerjakan 2 rekaat, shalat Ashar dikerjakan 2 rekaat dan shalat Isyak dikerjakan 2 rekaat.
Shalat-shalat yang boleh dijama dan diqashar.
Sepanjang tuntunan Allah dan Rasul-Nya, dilihat dari hadits dan riwayat Nabi Muhammad SAW, maka :
Shalat yang boleh di jama hanyalah :
= shalat Dhuhur dengan shalat Ashar.
= shalat Maghrib dengan shalat Isyak.
Baik jama taqdim maupun takhir. Sedang menjama antara shalat Ashar dengan shalat Maghri, atau shalat Shubuh dengan shalat Dhuhur, maupun shalat Isyak dengan shalat Shubuh, tidak ada tuntunannya sama sekali.
Shalat yang boleh diqashar adalah : Shalat Dhuhur, shalat Ashar dan shalat Isyak. Selain shalat-shalat tersebut kita dilarang mengqasharnya, karena tidak ada tuntunannya.

Mengqashar shalat.
Firman Allah SWT :
وَ اِذَا ضَرَبْتُمْ فِى اْلاَرْضِ فَلَيْسَ عَلَيْكُمْ جُنَاحٌ اَنْ تَقْصُرُوْا مِنَ الصَّلوةِ، اِنْ خِفْتُمْ اَنْ يَّفْتِنَكُمُ الَّذِيْنَ كَفَرُوْا، اِنَّ اْلكفِرِيْنَ كَانُوْا لَكُمْ عَدُوًّا مُّبِيْنًا. النساء: 101
Dan apabila kamu bepergian di muka bumi, maka tidaklah mengapa kamu mengqashar shalat, jika kamu takut diserang orang-orang kafir. Sesungguhnya orang-orang kafir itu adalah musuh yang nyata bagimu. [S. An-Nisaa : 101]
Hadits Nabi SAW :
عَنِ ابْنِ عُمَرَ رض قَالَ: صَحِبْتُ رَسُوْلَ اللهِ ص فَكَانَ لاَ يَزِيْدُ فِى السَّفَرِ عَلَى رَكْعَتَيْنِ وَ اَبَا بَكْرٍ وَ عُمَرَ وَ عُثْمَانَ كَذلِكَ. متفق عليه، فى نيل الاوطار 3: 226
Dari Ibnu Umar RA, ia berkata, Aku pernah menemani Rasulullah SAW sedang dalam bepergian, beliau tidak pernah menambah shalatnya melebihi dua rekaat, demikian juga Abu Bakar, Umar dan Utsman. [HR. Ahmad, Bukhari dan Muslim, dalam Nailul Authar juz 3, hal. 226]
عَنْ اَبِى هُرَيْرَةَ رض اَنَّهُ صَلَّى مَعَ النَّبِيّ ص اِلىَ مَكَّةَ فِى اْلمَسِيْرِ وَ اْلمَقَامِ بِمَكَّةَ اِلىَ اَنْ رَجَعُوْا رَكْعَتَيْنِ رَكْعَتَيْنِ. ابو داود الطيالسى فى مسنده، فى نيل الاوطار 3: 236
Dari Abu Hurairah RA, bahwasanya ia pernah shalat bersama Nabi SAW dua rekaat-dua rekaat dalam perjalanan ke Makkah, selama muqim di Makkah sampai pulang (ke Madinah). [HR. Abu Dawud Ath-Thayalisi dalam musnadnya, dalam Nailul Authar juz 3, hal. 236]
عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ: لَمَّا فَتَحَ النَّبِيُّ ص مَكَّةَ اَقَامَ فِيْهَا تِسْعَ عَشَرَةَ يُصَلّى رَكْعَتَيْنِ. قَالَ: فَنَحْنُ اِذَا سَافَرْنَا فَاَقَمْنَا تِسْعَ عَشَرَةَ قَصَرْنَا. وَ اِنْ زِدْنَا اَتْمَمْنَا. احمد و البخارى و ابن ماجه، فى نيل الاوطار 3: 238
Dari Ibnu Abbas, ia berkata, Ketika Nabi SAW menaklukkan Makkah, beliau tinggal di sana selama 19 hari, beliau shalat dua rekaat. Ibnu Abbas berkata, Apabila kami bepergian, kemudian tinggal selama 19 hari, maka kami mengqashar shalat (selama itu), dan jika lebih dari itu, kami shalat dengan tamam. [HR. Ahmad, Bukhari dan Ibnu Majah, dalam Nailul Authar juz 3, hal. 238]
عَنْ جَابِرٍ قَالَ: اَقَامَ النَّبِيُّ ص بِتَبُوْكَ عِشْرِيْنَ يَوْمًا يَقْصُرُ الصَّلاَةَ. احمد و ابو داود، فى نيل الاوطار 3: 237
Dari Jabir, ia berkata, Nabi SAW pernah tinggal di Tabuk dua puluh hari, beliau mengqashar shalat. [HR. Ahmad dan Abu Dawud, dalam Nailul Authar juz 3, hal. 237]
عَنْ عِمْرَانَ بْنِ حُصَيْنٍ قَالَ: غَزَوْتُ مَعَ رَسُوْلِ اللهِ ص وَ شَهِدْتُ مَعَهُ اْلفَتْحَ، فَاَقَامَ بِمَكَّةَ ثَمَانِيَ عَشَرَةَ لَيْلَةً، لاَ يُصَلّى اِلاَّ رَكْعَتَيْنِ يَقُوْلُ: يَا اَهْلَ اْلبَلَدِ، صَلُّوْا اَرْبَعًا فَاِنَّا قَوْمٌ سَفْرٌ. ابو داود 2: 9
Dari Imran bin Hushain, ia berkata : Aku pernah berperang bersama Nabi SAW, dan aku mengikuti penaklukan (Makkah) bersama beliau, lalu beliau tinggal di Makkah selama delapan belas hari, beliau tidak pernah shalat kecuali dua rekaat, beliau bersabda, Hai penduduk Makkah, shalatlah empat rekaat, karena kami adalah musafir. [HR. Abu Dawud juz 2, hal. 9. Hadits ini dlaif, karena dalam sanadnya ada perawi bernama Ali bin Zaid]
عَنْ اَنَسٍ قَالَ: صَلَّيْتُ مَعَ رَسُوْلِ اللهِ ص الظُّهْرَ بِاْلمَدِيْنَةِ اَرْبَعًا وَ صَلَّيْتُ مَعَهُ اْلعَصْرَ بِذِى اْلحُلَيْفَةِ رَكْعَتَيْنِ. متفق عليه، فى نيل الاوطار 3: 233
Dari Anas, ia berkata, Aku shalat Dhuhur empat rekaat bersama Rasulullah SAW di Madinah, dan aku pernah shalat Ashar dua rekaat bersama beliau di Dzul Hulaifah. [HR. Ahmad, Bukhari dan Muslim, dalam Nailul Authar juz 3, hal. 233]
عَنْ شُعْبَةَ عَنْ يَحْيَى بْنِ يَزِيْدِ اْلهَنَائِيّ قَالَ: سَأَلْتُ اَنَسًا عَنْ قَصْرِ الصَّلاَةِ فَقَالَ: كَانَ رَسُوْلُ اللهِ ص اِذَا خَرَجَ مَسِيْرَةَ ثَلاَثَةِ اَمْيَالٍ اَوْ ثَلاَثَةِ فَرَاسِخَ صَلَّى رَكْعَتَيْنِ (شعبة الشاك). احمد و مسلم و ابو داود، فى نيل الاوطار 3: 233
Dari Syubah dari Yahya bin Yazid Al-Hanaiy, ia berkata : Aku pernah bertanya kepada Anas tentang mengqashar shalat, lalu ia menjawab, Adalah Rasulullah SAW apabila bepergian sejauh tiga mil atau tiga farsakh, maka beliau shalat dua rekaat. (Syubah ragu, tiga mil atau tiga farsakh). [HR. Ahmad, Muslim dan Abu Dawud, dalam Nailul Authar juz 3, hal. 233]
Keterangan :
1 farsakh = 3 mil. 1 mil = kurang lebih 2 km.
عَنْ ثُمَامَةَ بْنِ شَرَاحِيْلَ قَالَ: خَرَجْتُ اِلىَ ابْنِ عُمَرَ فَقُلْتُ: مَا صَلاَةُ اْلمُسَافِرِ؟ قَالَ: رَكْعَتَيْنِ رَكْعَتَيْنِ اِلاَّ صَلاَةَ اْلمَغْرِبِ ثَلاَثًا. قُلْتُ: اَرَأَيْتَ اِنْ كُنَّا بِذِى اْلمَجَازِ؟ قَالَ: وَ مَا ذُو اْلمَجَازِ؟ قُلْتُ: مَكَانٌ نَجْتَمِعُ فِيْهِ وَ نَبِيْعُ فِيْهِ وَ نَمْكُثُ عِشْرِيْنَ لَيْلَةً، اَوْ خَمْسَ عَشَرَةَ لَيْلَةً، فَقَالَ: يَا اَيُّهَا الرَّجُلُ كُنْتُ بِاَذِرْبَيْجَانَ، لاَ اَدْرِى. قَالَ اَرْبَعَةَ اَشْهُرٍ اَوْ شَهْرَيْنِ. فَرَأَيْتُهُمْ يُصَلُّوْنَ رَكْعَتَيْنِ رَكْعَتَيْنِ. احمد فى مسنده، فى نيل الاوطار 3: 238
Dari Tsumamah bin Saraahiil, ia berkata : Aku pergi kepada Ibnu Umar, lalu aku bertanya, Bagaimana shalatnya orang musafir itu ?. Ia menjawab, Dua rekaat dua rekaat, kecuali shalat Maghrib, tiga rekaat. Aku bertanya lagi, Bagaimana pendapatmu jika kami di Dzul Majaz ?. Ia bertanya, Apa Dzul Majaz itu ?. Aku menjawab, Suatu tempat yang kami berkumpul, berjual beli dan tinggal di situ selama dua puluh hari atau lima belas hari. Maka ia berkata, Hai Tsumamah, aku pernah di Adzarbaijan, aku tidak ingat persis apa empat bulan atau dua bulan, aku melihat mereka (para shahabat) shalat dua rekaat-dua rekaat. [HR. Ahmad dalam musnadnya, dalam Nailul Authar juz 3, hal. 238]
Keterangan :
Tentang berapa kilometer jauhnya seseorang disebut sebagai musafir itu tidak ada penjelasan yang tegas dari Nabi SAW, namun yang jelas beliau bepergian dari Madinah ke Makkah, ketika baru sampai di Dzul Hulaifah beliau sudah mengqashar shalat, sedangkan jarak dari Madinah sampai Dzul Hulaifah itu kurang lebih 6 mil ( + 12 km).
عَنْ يَعْلَى بْنِ اُمَيَّةَ قَالَ: قُلْتُ لِعُمَرَ بْنِ اْلخَطَّابِ: (فَلَيْسَ عَلَيْكُمْ جُنَاحٌ اَنْ تَقْصُرُوْا مِنَ الصَّلوةِ اِنْ خِفْتُمْ اَنْ يَّفْتِنَكُمُ الَّذِيْنَ كَفَرُوْا) فَقَدْ أَمِنَ النَّاسُ. فَقَالَ عَجِبْتُ مِمَّا عَجِبْتَ مِنْهُ، فَسَأَلْتُ رَسُوْلَ اللهِ ص عَنْ ذلِكَ فَقَالَ: صَدَقَةٌ تَصَدَّقَ اللهُ بِهَا عَلَيْكُمْ، فَاقْبَلُوْا صَدَقَتَهُ. الجماعة الا البخارى، فى نيل الاوطار 3: 227
Dari Yala bin Umayyah, ia berkata : Aku pernah bertanya kepada Umar bin Khaththab (tentang firman Allah, yang artinya) Maka tidaklah mengapa kamu mengqashar shalat, jika kamu khawatir diserang orang-orang kafir. [QS.An-Nisaa : 101], sedang manusia sungguh sudah dalam keadaan aman. Kemudian Umar menjawab, Aku (juga) heran sebagaimana apa yang kamu herankan itu. Lalu aku bertanya kepada Rasulullah SAW tentang hal itu, maka beliau menjawab, Itu adalah sedeqah yang diberikan Allah kepada kalian, maka terimalah sedeqah-Nya itu. [HR. Jamaah, kecuali Bukhari, dalam Nailul Authar juz 3, hal. 227]
عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ: خَرَجْتُ مَعَ رَسُوْلِ اللهِ ص فِى عُمْرَةِ رَمَضَانَ فَاَفْطَرَ رَسُوْلُ اللهِ ص وَ صُمْتُ، فَقَصَرَ وَ اَتْمَمْتُ، فَقُلْتُ: يَا رَسُوْلَ اللهِ، بِاَبِى وَ اُمّى، اَفْطَرْتَ وَ صُمْتُ وَ قَصَرْتَ وَ اَتْمَمْتُ، فَقَالَ: اَحْسَنْتِ يَا عَائِشَةُ. الدارقطنى 2: 188، و قال اسناد حسن
Dari Aisyah, ia berkata : Aku pernah keluar bersama Rasulullah SAW dalam umrah di bulan Ramadlan, kemudian Rasulullah SAW berbuka, sedang aku tetap berpuasa, dan beliau mengqashar (shalatnya) sedang aku menyempurnakannya, lalu aku bertanya, Ya Rasulullah, kutebusi dengan ayah dan ibuku, (bagaimana) engkau berbuka sedang aku tetap puasa, dan engkau mengqashar shalat sedang aku menyempurnakannya ?. Lalu beliau menjawab, Itu baik saja, Aisyah. [HR. Daruquthni juz 2, hal. 188, dan ia berkata : Hadits ini sanadnya hasan]
عَنْ عَائِشَةَ رض اَنَّ النَّبِيَّ ص كَانَ يَقْصُرُ فِى السَّفَرِ وَ يُتِمُّ وَ يُفْطِرُ وَ يَصُوْمُ. الدارقطنى 2: 189، و قال: اسناد صحيح
Dari Aisyah RA, bahwasanya Nabi SAW pernah mengqashar shalat dalam bepergian, dan pernah menyempurnakannya, dan pernah berbuka, dan pernah juga tetap berpuasa. [HR. Daruquthni juz 2, hal. 189, dan ia berkata : Hadits ini sanadnya shahih]
Keterangan :
Dari dalil-dalil tersebut bisa kita pahami bahwa mengqashar shalat bagi musafir itu adalah suatu rukhshah, bukan sebagai keharusan.
Menjama shalat.
عَنْ اَنَسٍ قَالَ: كَانَ رَسُوْلُ اللهِ ص اِذَا رَحَلَ قَبْلَ اَنْ تَزِيْغَ الشَّمْسُ اَخَّرَ الظُّهْرَ اِلىَ وَقْتِ اْلعَصْرِ ثُمَّ نَزَلَ يَجْمَعُ بَيْنَهُمَا. فَاِنْ زَاغَتْ قَبْلَ اَنْ يَرْتَحِلَ صَلَّى الظُّهْرَ ثُمَّ رَكِبَ. متفق عليه، فى نيل الاوطار 3: 241
Dari Anas, ia berkata, Adalah Rasulullah SAW apabila bepergian sebelum matahari tergelincir, maka beliau mengakhirkan shalat Dhuhur sampai waktu Ashar, kemudian beliau berhenti, lalu shalat menjama antara dua shalat tersebut. Tetapi apabila matahari telah tergelincir sebelum beliau berangkat, maka beliau shalat Dhuhur (dahulu), kemudian naik (kendaraannya). [HR. Ahmad, Bukhari dan Muslim, dalam Nailul Authar juz 3, hal. 241]
وَ فِى رِوَايَةٍ لِمُسْلِمٍ: كَانَ اِذَا اَرَادَ اَنْ يَجْمَعَ بَيْنَ الصَّلاَتَيْنِ فِى السَّفَرِ يُؤَخّرُ الظُّهْرَ حَتَّى يَدْخُلَ اَوَّلَ وَقْتِ اْلعَصْرِ، ثُمَّ يَجْمَعُ بَيْنَهُمَا.، فى نيل الاوطار 3: 241
Dan dalam riwayat Muslim, Adalah Nabi SAW apabila akan menjama antara dua shalat dalam bepergian, maka beliau mengakhirkan shalat Dhuhur sampai masuk awwal waktu Ashar, lalu beliau menjama antara keduanya. [HR. Muslim, dalam Nailul Authar juz 3, hal. 241]
عَنْ مُعَاذٍ اَنَّ النَّبِيَّ ص كَانَ فِى غَزْوَةِ تَبُوْكَ اِذَا ارْتَحَلَ قَبْلَ اَنْ تَزِيْغَ الشَّمْسُ اَخَّرَ الظُّهْرَ حَتَّى يَجْمَعَهَا اِلىَ اْلعَصْرِ، يُصَلّيْهِمَا جَمِيْعًا. وَ اِذَا ارْتَحَلَ بَعْدَ زَيْغِ الشَّمْسِ صَلَّى الظُّهْرَ وَ اْلعَصْرَ جَمِيْعًا، ثُمَّ سَارَ. وَ كَانَ اِذَا ارْتَحَلَ قَبْلَ اْلمَغْرِبِ اَخَّرَ اْلمَغْرِبَ حَتَّى يُصَلّيَهَا مَعَ اْلعِشَاءِ. وَ اِذَا ارْتَحَلَ بَعْدَ اْلمَغْرِبِ عَجَّلَ اْلعِشَاءَ فَصَلاَّهَا مَعَ اْلمَغْرِبِ. احمد و ابو داود و الترمذى، فى نيل الاوطار 3: 242
Dari Muadz bahwasanya Nabi SAW dalam perang Tabuk, apabila beliau pergi sebelum matahari tergelincir, maka beliau mengakhirkan shalat Dhuhur sehingga beliau menjamanya pada waktu Ashar. Dan apabila beliau berangkat setelah matahai tergelinir, maka beliau shalat Dhuhur dan Ashar dengan jama, kemudian berangkat. Dan apabila beliau pergi sebelum Maghrib, maka beliau mengakhirkan shalat Maghrib sehingga beliau mengerjakan bersama-sama shalat Isyak. Dan apabila beliau pergi setelah Maghrib, maka beliau memajukan shalat Isyaknya, lalu dikerjakannya bersama shalat Maghrib. [HR. Ahmad, Abu Dawud dan Tirmidzi, dalam Nailul Authar juz 3, hal. 242]
عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ اَنَّ النَّبِيَّ ص كَانَ فِى السَّفَرِ اِذَا زَاغَتِ الشَّمْسُ فِى مَنْزِلِهِ جَمَعَ بَيْنَ الظُّهْرِ وَ اْلعَصْرِ،  قَبْلَ اَنْ يَّرْكَبَ، فَاِنْ لَمْ تَزِغْ لَهُ فِى مَنْزِلِهِ سَارَ حَتىَّ اِذَا حَانَتِ اْلعَصْرُ نَزَلَ فَجَمَعَ بَيْنَ الظُّهْرِ وَ اْلعَصْرِ، وَ اِذَا حَانَتْ لَهُ اْلمَغْرِبُ فِى مَنْزِلِهِ جَمَعَ بَيْنَهَا وَ بَيْنَ اْلعِشَاءِ وَ اِذَا لَمْ تَحِنْ فِى مَنْزِلِهِ رَكِبَ، حَتَّى اِذَا كَانَتِ اْلعِشَاءُ نَزَلَ فَجَمَعَ بَيْنَهُمَا. احمد، فى نيل الاوطار 3: 242
Dari Ibnu Abbas, bahwasanya Nabi SAW dalam satu bepergian, apabila matahari telah tergelincir, sedang beliau masih di tempatnya, maka beliau menjama antara shalat Dhuhur dan Ashar sebelum berangkat. Dan apabila matahari belum tergelincir ketika beliau masih di tempatnya, maka beliau terus berangkat, dan setelah datang waktu shalat Ashar, lalu berhenti, kemudian manjama antara shalat Dhuhur dan Ashar. Apabila telah tiba waktu Maghrib, ketika masih di tempatnya, maka beliau menjama antara shalat Maghrib dan Isyak, dan apabila belum masuk waktu Maghrib, sedang beliau masih di tempatnya, maka beliau terus berangkat sehingga apabila datang waktu Isyak, maka beliau berhenti lalu menjama shalat. [HR. Ahmad, dalam Nailul Authar juz 3, hal. 242]
عَنِ ابْنِ عُمَرَ رض اَنَّهُ اُسْتُغِيْثُ عَلَى بَعْضِ اَهْلِهِ فَجَدَّ بِهِ السَّيْرُ، فَاَخَّرَ اْلمَغْرِبَ حَتَّى غَابَ الشَّفَقُ، ثُمَّ نَزَلَ فَجَمَعَ بَيْنَهُمَا، ثُمَّ اَخْبَرَ هُمْ اَنَّ رَسُوْلَ اللهِ ص كَانَ يَفْعَلُ ذلِكَ اِذَا جَدَّ بِهِ السَّيْرُ، الترمذى بهذا اللفظ و صححه، فى نيل الاوطار 3: 243
Dari Ibnu Umar RA, bahwasanya ia pernah dimintai tolong untuk salah seorang keluarganya, lalu ia sangat mementingkan untuk pergi, kemudian ia mengakhirkan shalat Maghrib sampai cahaya merah hilang, lalu berhenti, kemudian menjama antara keduanya. Lalu ia memberitahukan kepada mereka, bahwa Rasulullah SAW pun pernah berbuat demikian apabila beliau sangat mementingkan bepergian[HR. Tirmidzi dengan lafadh ini, dan ia menshahihkannya, dalam Nailul Authar juz 3, hal. 243]

Dalil-dalil kebolehan shalat jama dan qashar.

عَنِ ابْنِ عُمَرَ رض قَالَ: صَحِبْتُ رَسُوْلَ اللهِ ص فَكَانَ لاَ يَزِيْدُ فِى السَّفَرِ عَلَى رَكْعَتَيْنِ وَ اَبَا بَكْرٍ وَ عُمَرَ وَ عُثْمان كذلك. متفق عليه
Dari Ibnu Umar RA, ia berkata, Aku pernah menemani Rasulullah SAW sedang dalam bepergian, ia tidak pernah menambah shalatnya melebihi dua rekaat, demikian juga Abu Bakar, Umar dan Utsman. [HR. Ahmad, Bukhari dan Muslim]
عَنْ يَعْلَى بْنِ اُمَيَّةَ قَالَ: قُلْتُ لِعُمَرَ بْنِ اْلخَطَّابِ: (فَلَيْسَ عَلَيْكُمْ جُنَاحٌ اَنْ تَقْصُرُوْا مِنَ الصَّلوةِ اِنْ خِفْتُمْ اَنْ يَفْتِنَكُمُ الَّذِيْنَ كَفَرُوْا) فَقَدْ أَمِنَ النَّاسُ. فَقَالَ عَجِبْتُ مِمَّا عَبِجْتَ مِنْهُ، فَسَأَلْتُ رَسُوْلَ اللهِ ص عَنْ ذلِكَ فَقَالَ: صَدَقَةٌ تَصَدَّقَ اللهُ بِهَا عَلَيْكُمْ، فَاقْبَلُوْا صَدَقَتَهُ. الجماعة الا البخارى
Dari Yala bin Umayyah, ia berkata : Aku pernah bertanya kepada Umar bin Khaththab (tentang firman Allah, yang artinya) Maka tidaklah mengapa kamu mengqashar shalat, jika kamu khawatir diserang orang-orang kafir. [QS.An-Nisaa : 101], sedang manusia sungguh sudah dalam keadaan aman. Kemudian Umar menjawab, Aku (juga) heran tentang apa yang kamu herankan itu. Lalu aku bertanya kepada Rasulullah SAW tentang hal itu, maka beliau menjawab, Itu adalah sedeqah yang diberikan Allah kepada kalian, maka terimalah sedeqah-Nya itu. [HR. Jamaah, kecuali Bukhari]
عَنِ ابْنِ عُمَرَ رض اَنَّ النَّبِيَّ ص صَلَّى اْلمَغْرِبَ وَ اْلعِشَاءَ بِاْلمُزْدَلِفَةِ جَمِيْعًا، كُلُّ وَاحِدَةٍ مِنْهُمَا بِاْلاِقَامَةِ، وَ لَمْ يُسَبّحْ بَيْنَهُمَا، وَ لاَ عَلَى اَثَرِ وَاحِدَةٍ مِنْهُمَا. البخارى و النسائى، فى نيل الاوطار 3: 248
Dari Ibnu Umar RA bahwasanya Nabi SAW pernah shalat Maghrib danIsyak di Muzdalifah dengan dijama, masing-masing shalat dengan satu iqamah dan tidak shalat sunnah diantara keduanya, dan tidak pula sesudah selesai masing-masing dari keduanya. [HR. Bukhari dan Nasaiy, dalam Nailul Authar juz 3, hal. 248]
عَنْ اُسَامَةَ رض اَنَّ النَّبِيَّ ص لَمَّا جَاءَ اْلمُزْدَلِفَةَ نَزَلَ فَتَوَضَّأَ، فَاَسْبَغَ اْلوُضُوْءَ، ثُمَّ اُقِيْمَتِ الصَّلاَةُ، فَصَلَّى اْلمَغْرِبَ، ثُمَّ اَنَاخَ كُلُّ اِنْسَانٍ بَعِيْرَهُ فِى مَنْزِلِهِ. ثُمَّ اُقِيْمَتِ اْلعِشَاءُ فَصَلاَّهَا. وَ لَمْ يُصَلّ بَيْنَهُمَا شَيْئًا. احمد و البخارى و مسلم، فى نيل الاوطار 3: 249
Dari Usamah RA, bahwa Nabi SAW ketika datang di Muzdalifah beliau berhenti lalu wudlu, kemudian menyempurnakan wudlunya, lalu diiqamati untuk shalat, kemudian shalat Maghrib, lalu masing-masing orang menderumkan untanya di tempatnya, kemudian diiqamati, lalu shalat Isyak, dan beliau tidak shalat apapun diantara keduanya. [HR. Ahmad, Bukhari dan Muslim, dalam Nailul Authar juz 3, hal. 249]
و فى لفظ رَكِبَ حَتَّى جِئْنَا اْلمُزْدَلِفَةَ فَاَقَامَ اْلمَغْرِبَ، ثُمَّ اَنَاخَ النَّاسُ فِى مَنَازِلِهِمْ، وَ لَمْ يَحُلُّوْا حَتَّى اَقَامَ اْلعِشَاءَ اْلآخِرَةَ فَصَلَّى. ثُمَّ حَلُّوْا. احمد و مسلم، فى نيل الاوطار 3: 249
Dan dalam satu lafadh : Nabi SAW naik kendaraan sehingga kami sampai di Muzdalifah, lalu beliau shalat Maghrib, kemudian orang-orang menderumkan unta mereka di tempat-tempat mereka, dan mereka tidak melepas (unta-unta mereka) sehingga beliau shalat Isyak, kemudian beliau shalat, lalu mereka melepas (unta-unta) mereka. [HR. Ahmad dan Muslim, dalam Nailul Authar juz 3, hal. 249]
Doa safar.
اَنَّ بْنَ عُمَرَ عَلَّمَهُمْ اَنَّ رَسُوْلَ اللهِ ص كَانَ اِذَا اسْتَوَى عَلَى بَعِيْرِهِ خَارِجًا اِلَى سَفَرٍ كَبَّرَ ثَلاَثًا ثُمَّ قَالَ: سُبْحَانَ الَّذِى سَخَّرَ لَنَا هذَا وَ مَا كُنَّا لَه مُقْرِنِيْنَ وَ اِنَّا اِلَى رَبّنَا لَمُنْقَلِبُوْنَ. اَللّهُمَّ اِنَّا نَسْأَلُكَ فِى سَفَرِنَا هذَا اْلبِرَّ وَ التَّقْوَى وَ مِنَ اْلعَمَلِ مَا تَرْضَى، اَللّهُمَّ هَوّنْ عَلَيْنَا سَفَرَنَا هذَا وَاطْوِ عَنَّا بُعْدَهُ، اَللّهُمَّ اَنْتَ الصَّاحِبُ فِى السَّفَرِ وَ اْلخَلِيْفَةُ فِى اْلاَهْلِ، اَللّهُمَّ اِنّى اَعُوْذُ بِكَ مِنْ وَعْثَاءِ السَّفَرِ وَ كَآبَةِ اْلمَنْظَرِ وَ سُوْءِ اْلمُنْقَلَبِ فِى اْلمَالِ وَ اْلاَهْلِ. وَ اِذَا رَجَعَ قَالَهُنَّ وَ زَادَ فِيْهِنَّ: آيِبُوْنَ تَائِبُوْنَ عَابِدُوْنَ لِرَبّنَا حَامِدُوْنَ. مسلم 2: 978
Sesungguhnya Ibnu ‘Umar mengajarkan kepada orang-orang (ia berkata) : Adalah Rasulullah SAW apabila telah berada di atas untanya akan bepergian beliau bertakbir tiga kali, lalu berdoa (yang artinya), ”Maha suci Allah yang telah menundukkan semua ini bagi kami padahal kami sebelumnya tidak mampu menguasainya. Dan sesungguhnya kami akan kembali kepada Tuhan kami. Ya Allah, sesungguhnya kami memohon kepada-Mu dalam perjalanan kami ini kebaikan, taqwa dan amal yang Engkau ridlai. Ya Allah, berikanlah kemudahan kepada kami dalam perjalanan kami ini, dan dekatkanlah bagi kami jauhnya perjalanan. Ya Allah, Engkaulah yang bersama kami dalam perjalanan dan yang memelihara keluarga yang ditinggal. Ya Allah, sesungguhnya aku berlindung kepada-Mu dari kesulitan perjalanan dan dari pandangan yang menyedihkan dan tempat kembali yang tidak menyenangkan pada harta dan keluarga”. Apabila beliau kembali, beliau membaca seperti itu pula dan beliau menambahkan (yang artinya), “Kami kembali, kami bertaubat, kami beribadat dan kepada Tuhan kami, kami memuji”. [HR. Muslim juz 2, hal. 978]
thumbnail
Entry title: 060226 Shalat Safar (1)
Rating: 100%
votes: 99998 ratings. 5 user reviews.
Reviewer: Fadjar Stempel
Item Reviewed: 060226 Shalat Safar (1)